Press ESC to close

Menjadikan Program Makan Siang Gratis Sebagai Gerakan Sosial

Suara TegalParang – Program Makan Siang dan Susu Gratis yang menjadi program unggulan Prabowo-Gibran merupakan program mulia karena berdampak positif pada pertumbuhan kesehatan dan kecerdasan kognitif generasi muda Indonesia. Dalam pelaksanaannya, program ini hendaknya jangan sampai membebani rakyat akibat politik anggaran yang tidak tepat. Karena itu, selain melakukan efisiensi di banyak sektor, pemerintah mendatang juga perlu mempertimbangkan untuk menjadikan program ini sebagai gerakan sosial (social movement).

Demikian antara lain pandangan yang mengemuka dalam diskusi publik yang diselanggarakan oleh Forum Aktivis Nasional (FAN) bertajuk “Makan Siang dan Susu Gratis dalam Pelaksanaan dan Tantangan” di bilangan Tegal Parang Mampang Prapatan Jakarta Selatan, Kamis (17/5/2024).

Dalam acara yang dipandu oleh aktivis GPII Karman BM itu, hadir sebagai narasumber yaitu Anggota DPR RI Luluk Nur Hamidah, Anggota DPD RI Angelo Wake Kako, Peneliti Setyo Budiantoro, dan pengamat politik dari Universitas Indonesia Ade Reza Hariyadi.

Turut hadir penasihat FAN M Qodari, Dosen Paramadina Herdi Syahrasad, Direktur Eksekutif Institut Studi Strategi Indonesia (ISSID) Marbawi A Katon, Praktisi Hukum Umar Husin, dan ratusan aktivis lintas generasi dari berbagai Organisasi Kemahasiswaan dan Pemuda.

Program Mulia

Ketua Umum Forum Aktivis Nasional (FAN) Bursah Zarnubi dalam pengantar diskusi menekankan bahwa Program Makan Siang dan Susu Gratis yang digagas Prabowo-Gibran adalah program mulia. Penerima manfaatnya kurang lebih 80 juta orang dengan perencanaan anggaran sekitar 421 triliun.

“Program ini akan berdampak sangat positif pada pertumbuhan kesehatan dan kognitif-kecerdasan generasi muda kita. Ini bertujuan meningkatkan sumberdaya anak-anak sekolah kita dan pasti akan memajukan masa depan bangsa indonesia,” kata Bursah.

Menuru Bursah, kritik dan perdebatan yang muncul terkait darimana membiayai program ini merupakan hal lumrah dalam demokrasi dan akan menambah khazanah intelektual agar memperoleh perspektif dan sudut pandang positif dan konstruktif bagi keberlangsungan program ini pada masa mendatang.

Tantangan

Anggota DPR RI Luluk Nur Hamidah menyampaikan bahwa DPR sendiri belum memiliki pandangan yang sama terkait dari mana anggaran Makan Siang dan Susu Gratis ini. Pihaknya menengarai adanya upaya mengutak-atik anggaran dana Biaya Operasional Sekolah (BOS) dan subsidi energi. Dia mengingatkan agar hal itu jangan diteruskan karena memiliki resistensi yang tidak kecil.

“Kita tidak menginginkan exit strategy dari pemerintah dengan cara mengorbankan existing program yang sebenarnya sangat baik dan dibutuhkan, apalagi dana BOS merupakan pemenuhan hak pendidikan dan dukungan anggaran operasional yang penting karena merupakan amanah konstitusi,” kata Luluk.

Politisi PKB ini menilai selain persoalan anggaran karena ruang fiskal di APBN sangat terbatas, tantangan yang dihadapi program ini cukup banyak. Indonesia memiliki problem pada persoalan pangan karena memang pangan kita nyaris sepenuhnya bergantung pada impor.

“Kalau cara impor ini yang dijadikan cara untuk memenuhi janji kampanye tentu sangat riskan, karena ketahanan pangan kita rapuh, jauh sekali dari swasembada pangan,” jelasnya.

Dalam hal pemenuhan gizi atau nutrisi, persoalan kebutuhan akan daging sebelum ada program makan siang gratis pun kebutuhan daging impor sangat besar, bahkan kita sering mengabaikan aturan dengan mengimpor dari negara yang belum bebas penyakit PMK seperti India dan Brazil.

Ditegaskan Luluk, sekarang tidak relevan lagi bicara setuju dan tidak setuju dengan program Makan Siang dan Susu Gratis, karena dipastikan akan menjadi kebijakan prioritas pemerintah. Namun, jika benar pemerintah berencana mengimpor 2,5 juta ekor sapi perah untuk pemenuhan susu, maka yang harus dipikirkan adalah kebutuhan sekitar 500 ribu hektar lahan untuk pengembangan sapi perah tersebut dimana letaknya harus berada di ketinggian 900 MDPL.

“Daerahnya harus sejuk seperti Kuningan, ini juga masalah. Lahan bagus biasanya udah dicaplok untuk investasi, perumahan, dan industri. Jadi tak disisain lagi untuk program pertanian,” katanya.

Belum lagi untuk lahan pakan, menurut Luluk, dari 2,5 juta ekor sapi itu, dibutuhkan sekitar 1,25 juta hektar untuk menanam rumput dalam rangka memenuhi kebutuhan pakan sapi perah tersebut.

Baca Juga  Senator Angelo Wake Kako Didaulat Jadi Ketua Harian FAN

Luluk menekankan pelaksanaan program ini harus berpedoman pada asas keadilan dan melibatkan partisipasi masyarakat.

Partisipasi masyarakat sangat diperlukan termasuk membuka ruang kritik dan masukan. Jangan sampai masyarakat ditakut-takuti bahwa kritik terhadap program ini dianggap sebagai gangguan.

“Seperti disampaikan Pak Prabowo tempo hari, jangan sampai ada narasi kekuasaan seperti itu, program mau bagus seperti apapun jika pada akhirnya mendatangkan masalah bagi rakyat dan kemudian menjadi beban bagi rakyat tentu tidak lagi bagus,” tegas Luluk.

Luluk juga meminta UU Pangan diperhatikan agar bangsa Indonesia kebutuhan pangannya tersedia. Program ini jangan sampai memberi jalan dan karpet merah kepada para oligarki untuk menikmati proyek dari pemerintahan baru, dengan mengabaikan kedaulatan pangan.

Tak Harus Susu

Sementara itu, Peneliti Setyo Budiantoro memiliki pandangan yang berbeda terkait pemenuhan kebutuhan gizi anak. Menurutnya, pemenuhan kebutuhan protein dan kalsium bisa disubstitusi melalui makanan lain.

Dikatakan Budiantoro, hampir 70 persen masyarakat dunia sensitif terhadap kandungan lactose yang ada pada susu, terutama ras Asia dan Afrika. Mereka umumnya mengalami diare jika minum susu.

“Kalau kita tidak punya sistem pendingin, dan tak punya kultur bagus untuk minum susu, bisa jadi bakteri jika tidak diminum dalam 1 sampai 2 jam. Kejadian di Bengkulu ketika ada Program Makanan Tambahan untuk Anak Sekolah (PMT-AS) membuat anak keracunan,” ujarnya.

Menurut Budiantoro, makanan substitusi yang bisa menggantikan protein dalam susu adalah 1 butir telur. Sedangkan untuk kandungan kalsium tinggi ada pada ikan teri atau sayur kelor.

“Kelor yang bahasa latinnya moringa oleifera di Amerika Latin dan beberapa negara di Asia seperti Filipina itu menjadi sarana untuk mengatasi malnutrisi bahkan stunting. Kandungan kalsiumnya lebih tinggi dibandingkan susu,” terangnya.

Potensi Daerah

Seluruh nara sumber pada umumnya sepakat bahwa Program Makan Siang dan Susu Gratis harus memaksimalkan potensi daerah dengan memberdayakan ekonomi lokal dan bukan kebijakan yang bersifat top-down dimana makanan dikirim dari pusat.

Setyo Budiantoro mengatakan program ini sarana untuk menggerakkan ekonomi di daerah karena semuanya sudah terukur, bahkan bisa dilakukan contract farming. Dia mencontohkan, bagaimana program seperti ini bisa menjadi community base dan di Brazil minimal 30 persen sumber pangan berasal dari lokal.

Untuk substitusi juga tak perlu terjebak pada beras, bisa digantikan jagung dan sagu. Menunya mesti dibuat variatif agar anak tak bosan dan tergantung kekhasan daerahnya.

“Kalau di Program Penyediaan Makanan Tambahan untuk Anak Sekolah (PMT-AS) itu menunya ada 1000, tinggal pikirkan kandungan gizi yang bersumber dari biodiversity lokal,” katanya.

Salah satu keunggulan dari program ini kata Budiantoro, adalah adanya prinsip kebersamaan dimana anak-anak diperlakukan setara dengan makanan yang sama.

“Jangan takut terhadap anggaran, buat pilot project, kalau mengakomodasi perusahaan besar, catering, itu nanti susah melepaskannya. Sebaiknya ditata dulu dengan cermat agar ekonomi lokal jalan, gak apa-apa meskipun memakan waktu lama,”.

Senada, anggota DPD RI dari NTT Angelo Wake Kako juga menekankan prinsip kebersamaan dan keadilan bagi anak melalui Program Makan Siang dan Susu Gratis ini. Dia mengaku kagum dengan program ini karena mengedepankan orientasi pembangunan manusia.

“Ini soal ekonomi yang inklusif. Luar biasa Pak Prabowo, dia pemimpin yang akan membangun manusia,” katanya.

Terkait anggaran, senator dari NTT ini menekankan bahwa sebenarnya anggaran di APBN itu berlimpah.

“Uang kita terlalu banyak dean berlimpah, kalau semua orang tidak mau mencuri dari uang itu,” katanya.

Dengan melakukan efisiensi di banyak sektor, Anggelo yakin program ini bisa berjalan dengan baik. Dia meminta dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap pembagian CSR di BUMN, pemberian PMN, dan mengurangi pembangunan infrastruktur kecuali IKN.

Baca Juga  Peringati Hari Lahir Pancasila, Forum Aktivis Gelar Diskusi Bahas Tantangan Geopolitik

Yang unik dari penjelasan Senator Angelo, dia bersedia menggalang para Kepala Daerah untuk menolak program ini jika semua makanan didistribusi dari pusat dengan mengabaikan potensi daerah.

“Kalau semua didikte oleh pusat, kalau Jakarta yang kirim barang ke daerah untuk apa?” katanya.

Kekhawatiran Angelo ini beralasan, karena menurut pengalamannya ketika ada program pemberantasan stunting, makanan yang tiba di daerah ternyata biskuit yang sudah rusak.

“Yang menyedihkan, balita beserta ibu hamil dipaksa makan biskuit itu, jangan lagi pola ini diterapkan di program Makan Siang dan Susu Gratis,” katanya.

Dikatakannya, kebhinekaan Indonesia harus ditunjukkan melalui program ini. Jangan Jakarta menentukan sendiri apa yang dikonsumsi orang daerah.

“Akan sakit rasanya jika kebutuhan daging melalui program ini dikirim dari Jakarta yang disediakan oligarki ke NTT, sementara sapi di NTT melimpah tak terbeli,” tegas Angelo.

Di tempat yang sama, pengamat politik dari Universitas Indonesia Ade Reza Hariyadi menilai Program Makan Siang dan Susu Gratis sebenarnya bukan barang baru. Beberapa negara di ASEAN sudah lama mengadopsi, Malaysia menjalankan program serupa pada tahun 1979 dan mereka sampai sekarang membuat semacam cluster sasaran penerima berdasarkan pendapatan.

“Spanyol alokasinya 8,5 triliun per tahun. Di Portugal 100 miliar per tahun, sementara di Prancis 25 triliun per tahun,” kata Reza.

Yang dikhawatirkan Reza adalah adanya refocussing dan realokasi anggaran di APBN secara tidak tepat dan mengabaikan aturan.

“Jangan sampai mengulang refocussing dan realokasi saat pandemi Covid-19, di mana terjadi banyak kebocoran dan korupsi sehingga sebagian pejabatnya harus berurusan dengan hukum,” kata Reza.

Gerakan Sosial

Akademisi Universitas Paramadina Dr Herdi Sahrasad yang diminta pendapatnya terkait program ini menekankan Revolusi Putih ala Prabowo pernah digaungkan Prabowo pada Pilpres 2009 karena Prabowo menyaksikan sendiri dan menyadari kemiskinan mayoritas rakyatnya akibat ketidakadilan, dan ketimpangan struktural serta penggumpalan ekonomi di kalangan elite/konglomerat akibat ekonomi pasar bebas, “laissez-faire”.

“Program Prabowo ini mendapat sambutan positif rakyat dan semestinya menjadi gerakan sosial (social movement) dengan partisipasi masyarakat luas,” kata Herdi Sahrasad, salah satu dari puluhan deklarator berdirinya FAN.

“Merujuk perspektif Soedjatmoko, maka program Jenderal Prabowo ini harus juga dengan pendekatan bottom-up, dari bawah ke atas, tidak melulu top-down, dan sungguh mendapat sambutan positif rakyat dan semestinya menjadi gerakan sosial (social movement) dengan partisipasi masyarakat luas dan penuh semangat pembebasan dari ketidakberdayaan/kemiskinan untuk pembangunan manusia yang bermartabat,” tegas Herdi Sahrasad.

Angelo menyambut baik gagasan gerakan sosial ini. Menurutnya program makan siang dan susu gratis jangan sampai menjadi program elit. Sebaliknya, program ini harus bermuara dan bermetamorfosa menjadi sebuah gerakan sosial.

“Kita semua harus terlibat rame-rame secara gotong royong, yang kaya bisa membantu yang miskin dan bisa mensupport satu sama lain,” kata Angelo.

Terkait gerakan sosial ini, Peneliti Setyo Budiantoro mengajak semua pihak menjadikan program Makan Siang dan Susu Gratis sebagai pesta rakyat dan bukan pesta elit.

Partisipasi masyarakat melalui gerakan sosial diyakini akan berjalan masif dan bisa menjadi momentum mengurangi kesenjangan sosial.

Dijelaskan Budiantoro, Indonesia merupakan negara paling dermawan di dunia. Berdasarkan data di Baznas, Potensi dari zakat saja ada sekitar 327 triliun per tahun dan kini baru tergarap 25 triliun, sementara wakaf potensinya 180 triliun.

“Belum lagi Budha Tzu Chi, di Kristen ada Perpuluhan, Katolik ada Aksi Puasa Pembangunan, Kolekte, di Hindu ada Dana Punia, Khonghucu ada Dana Kebajikan,” katanya.

Gerakan sosial itu akan efektif jika menjadi kesadaran kolektif dalam rangka untuk mengembangkan ekonomi rakyat yang selama ini jadi penonton.

“Republik ini dibangun dengan semangat gotong royong, menurut saya Indonesia ke depan akan semakin baik,” katanya.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *