Oleh: Bambang Budiono
Suara Tegalparang – Akbar Tandjung, akrab disapa dengan panggilan Bang Akbar, adalah sosok aktivis politik yang sukar dicari bandingannya. Di usianya yang kini menjelang 79 tahun, ia masih aktif keliling daerah untuk menghadiri kegiatan Partai Golkar atau menjadi narasumber di berbagai forum HMI, Kelompok Cipayung, berbagai organisasi kemasyarakatan, dan perguruan tinggi.
Sisi lain yang menonjol dari Akbar Tandjung adalah kepeduliannya dalam membantu “adik-adiknya”. Rupa-rupa bantuan. Mulai dari biaya kongres, biaya pelatihan, seminar, hingga bantuan yang bersifat personal seperti uang kuliah, berobat ke rumah sakit, biaya mengantar jenazah ke luar kota, hingga bantuan biaya pernikahan sekaligus kesediaan menjadi saksi nikah. Di mata para juniornya, Bang Akbar adalah sosok senior yang mengayomi, punya komitmen sosial yang tinggi dan punya ketulusan untuk berbagi pengetahuan serta pengalaman dalam menggerakkan organisasi serta memecahkan masalah.
Kesungguhan Akbar Tandjung dalam membina aktivis dan politisi muda juga ditunjukkan melalui keterlibatannya sebagai Ketua Yayasan Bina Insan Cita yang mendirikan dan mengelola gedung di Kawasan Depok yang diperuntukkan bagi tempat latihan kader dan kepemimpinan HMI. Ia juga mendirikan Akbar Insititute yang berkantor di Kompleks Liga Mas, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, sebuah lembaga yang didedikasikan untuk kegiatan riset, penerbitan buku, dan sekolah kader bagi para aktivis dari berbagai latar belakang organisasi.
Akbar Tandjung menyebut dunia aktivis dan politik adalah darahnya. Gairah hidupnya. “It’s in my blood. It’s my passion,” katanya, dalam satu wawancara dengan CNNIndonesia.com. Setiap menerima telepon atau undangan menjadi pemateri, Akbar Tandjung menyambutnya dengan perasaan suka dan karena itu selalu berusaha untuk datang. Ia menganggap undangan tersebut sebagai tanda sayang kepadanya. Di situlah ia dapat berbagi pengalaman dan pengetahuan.
Rumah Akbar terbuka untuk para aktivis dan politisi. Saat tinggal di kawasan Tebet semasa bujangan, rumahnya menjadi tempat kongkow kader-kader HMI dan teman-teman kuliahnya di Universitas Indonesia. Begitu juga rumahnya di Kawasan Pos Pengumben Jakarta Barat setelah ia menjadi anggota DPR. Semasa menempati rumah dinas di kompleks Widya Chandra dari tahun 1988 sampai 2004, rumah Akbar Tandjung adalah rumah menteri yang paling banyak dikunjungi aktivis dan politisi. Tamu berdatangan sejak jam 6 pagi dengan berbagai urusan dan keperluan. Akbar tinggal di kompleks menteri selama 16 tahun sejak diangkat menjadi Menpora pada tahun 1988, menjadi Menteri Perumahan Rakyat tahun 1993, Mensesneg di era Preside Habibie tahun 1999, hingga Ketua DPR periode 1999-2004. Rumah Akbar di Kawasan Kebayoran yang ditempati selepas Ketua DPR tahun 2004 hingga saat ini, juga selalu ramai dengan tamu-tamu aktivis dan kolega politiknya dari berbagai daerah.
LEGENDA HIDUP KELOMPOK CIPAYUNG DAN PARTAI GOLKAR
Lahir 14 Agustus 1945 di Sorkam, Sibolga, Sumatera Utara, nama lengkapnya adalah Djandji Akbar Zahiruddin Tandjung. Setelah menamatkan Sekolah Rakyat (SR) di Kota Medan, Akbar pindah ke Jakarta. Melanjutkan SMP di Perguruan Cikini, SMA Katolik Kanisius di Jalan Menteng Raya, lalu di Fakultas Teknik Jurusan Elektro Universitas Indonesia (UI).
Sejak menjadi mahasiswa FT UI itulah Akbar terlibat dalam dunia aktivis, sebutan untuk mahasiswa yang bukan hanya sibuk mengerjakan tugas-tugas kuliah, tetapi juga punya kepekaan dan komitmen terhadap isu-isu sosial dan politik.
Di intra universitas Akbar aktif di Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Laskar Ampera Arief Rahman Hakim. Ikut demo-demo Tritura dan aksi mengganyang PKI. Tahun 1967-1968 ia menjadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Teknik UI dan aktif di kegiatan Dewan Mahasiswa serta Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Universitas Indonesia. Di luar kampus, ia aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), menjadi Ketua Umum HMI Cabang Jakarta tahun 1969-1970 dan puncaknya adalah menjadi Ketua Umum Pengurus Besar HMI 1971-1974 (menggantikan Nurcholis Madjid).
Akbar Tandjung lebih dikenal sebagai tokoh aktivis ekstra kampus, berbeda misalnya dengan Haryadi Dharmawan atau Hariman Siregar yang dikenal sebagai aktivis intra kampus lewat aksi-aksinya sebagai Ketua Dewan Mahasiswa UI. Sebagai Ketua Umum PB HMI, pada 22 Januari 1972 Akbar Tandjung menandatangani deklarasi Kelompok Cipayung, bersama Ketua Umum GMNI Soerjadi, Ketua Umum PMKRI Chris Siner Key-Timu, dan Ketua Umum GMKI Binsar Sianipar. Tahun 1974 PMII bergabung dalam kelompok ini semasa dipimpin oleh Abduh Paddare.
Kelompok Cipayung adalah forum komunikasi yang dianggap sebagai miniatur Indonesia karena pembentukannya didasari semangat untuk memperkuat wawasan kebangsaan, memperkuat spirit persatuan di kalangan pemimpin muda, dan memberikan pandangan kritis terhadap berbagai isu pembangunan.
Deklarasi Kelompok Cipayung tahun 1972 menginspirasi lahirnya deklarasi pendirian KNPI pada 23 Juli 1973 yang ditandatangani oleh 30 lebih tokoh pemuda, termasuk Akbar Tandjung.
Akbar Tandjung adalah satu-satunya penandatangan deklarasi Kelompok Cipayung yang masih hidup. Bisa disebut sebagai saksi hidup atau legenda hidup Kelompok Cipayung, dan karena itu sering diundang sebagai narasumber dalam berbagai pertemuan alumni Kelompok Cipayung.
Setelah tak lagi menjabat Ketua Umum PB HMI, Akbar aktif di Golkar, menjadi pimpinan Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia, ikut Pemilu 1977 dan menjadi anggota DPR Fraksi Golkar, lalu menjadi Ketua DPP KNPI 1978-1981 menggantikan David Napitupulu. Secara berkelanjutan, Akbar menjadi anggota DPR hingga 1988.
Kesibukan Akbar Tandjung sebagai aktivis dan politisi Golkar membuat studinya di FT UI macet, ia juga lambat menikah. Setelah tak lagi menjadi Ketua DPP KNPI, pada tahun 1982 Akbar Tandjung menikah dengan mempersunting putri Solo bernama Krisnina Maharani. Itu berarti usia Akbar Tandjung sudah 37 tahun. Kader-kader HMI yang terlambat menikah sering menjadikan kisah Bang Akbar sebagai pembenaran mengapa belum menikah. “Itu Bang Akbar baru nikah umur 37, dapat putri Solo cantik. Makanya tenang, sabar,” begitu guyonan di kalangan kader-kader HMI yang telat nikah. Bang Akbar juga baru menyelesaikan studinya di Fakultas Teknik UI tahun 1987, saat usianya 42 tahun dan sudah malang melintang sebagai politisi nasional.
Tahun 1988 Akbar diangkat Presiden Soeharto menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga, dan tahun 1993-1998 menjadi Menteri Perumahan Rakyat. Di masa Presiden Habibie, Akbar dipercaya menjadi Menteri Sekrataris Negara dan terpilih menjadi Ketua Umum Partai Golkar. Setelah Pemilu dipercepat pada tahun 1999, Akbar terpilih menjadi Ketua DPR.
Akbar adalah Ketua Umum Partai Golkar 1998-2004, masa paling kritis pasca Reformasi. Meski sudah bertransformasi sebagai partai baru, Golkar dianggap sebagai warisan Orde Baru. Kantor dan atribut Golkar di sejumlah daerah dirusak, kegiatan kampanyenya diganggu. Akbar sendiri pernah diserang massa saat berkampanye di Purbalingga Jawa Tengah. Dengan situasi seperti, pada Pemilu 1999 Partai Golkar mampu meraih suara di urutan kedua terbanyak di bawah PDI Perjuangan. Pada Pemilu 2004, Partai Golkar bahkan menjadi pemenang pemilu dengan meraih 21,58% suara, unggul dari PDI Perjuangan di posisi kedua dengan perolehan 18,535 suara. Pasca Reformasi, hanya pada Pemilu tahun 2004 saja Partai Golkar bisa meraih suara tertinggi. Itulah prestasi Akbar Tandjung yang belum bisa diulangi oleh pimpinan Golkar selanjutnya.
Saat Jusuf Kalla menjadi Ketua Umum Partai Golkar tahun 2004-2009, Akbar Tandjung tidak duduk dalam posisi apapun di organisasi tersebut. Orang-orang Akbar juga tidak mendapat posisi strategis. Tahun 2006 Wiranto mendirikan Partai Hanura, Prabowo mendirikan Partai Gerindra, Surya Paloh mendirikan Ormas NasDem. Akbar Tandjung tetap mengingatkan kader-kadernya untuk tetap setia di Golkar. Akbar Tandjung sendiri menyibukkan diri menyelesaikan studi S-3 di Fakultas Ilmu Politik Universitas Gajahmada, Yogyakarta, dan pada tahun 2008 berhasil meraih gelar Doktor dengan predikat Cum Laude. Disertasi yang berhasil ia pertahankan di hadapan 9 tim penguji adalah “Partai Golkar dalam Pergolakan Politik Era Reformasi: Tantangan dan Respons”.
Zainudin Amali, mantan Menpora yang kini menjadi Wakil Ketua PSSI, pernah bercerita pada penulis tentang dedikasi dan tingginya kesetiaan Akbar pada Golkar. Pada Pemilu 2009 Zainudin Amali ditaruh di nomor urut 4 di salah satu Dapil di Jawa Timur. Padahal pada Pemilu 2004, ia berhasil lolos ke DPR karena menjadi caleg nomor urut 1 di Dapil Gorontalo (daerah kelahirannya). Amali agak kecewa dan sempat bimbang, apakah terus maju sebagai caleg nomor urut 4 atau pindah parpol menerima ajakan salah satu kawannya. Saat bertemu Akbar Tandjung, Amali dinasehati agar tetap bertahan di Golkar. “Adinda berjuang saja, jangan pindah-pindah partai,” kata Akbar.
Zainudin Amali mengikuti nasihat Akbar, dan ternyata bisa lolos kembali sebagai anggota DPR. Akbar sendiri, atas nama pribadi membuat ratusan spanduk dan memasangnya di sejumlah kota. Spanduk bertuliskan “Selamat Berjuang Caleg Partai Golkar”.
PETARUNG POLITIK YANG SANTUN
Gaya bicara Akbar Tandjung tidak meledak-ledak, lembut, tidak menyerang secara personal, pilihan katanya efisien dan cerdas. Komunikasi politiknya bagus, merawat perkawanan dan silaturahmi dengan kawan maupun lawan politiknya.
Akbar Tandjung bersama Amien Rais dan Bachtiar Chamsyah, oleh pendukung Gus Dur dianggap sebagai tiga tokoh penting dibalik pelengseran Gus Dur sebagai Presiden. HMI Connection yang memotori impeachment Gus Dur pada tahun 2000. Amien Rais sebagai Ketua MPR, Akbar Tandjung Ketua DPR, Bachtiar Chamsyah sebagai ketua Pansus Bulog Gate. Proses impeachment ini juga diwarnai ketegangan politik yang tinggi saat Gus Dur mengeluarkan Dekrit pembubaran Partai Golkar dan pembubaran DPR, dua lembaga yang dipimpin Akbar.
Setelah peristiwa itu berlalu, hubungan Gus Dur dan Akbar Tandjung ternyata tetap baik. Beberapa kali keduanya tampil bersama dalam satu acara. Akbar Tandjung hadir di acara Wahid Institute. Dan saat Gus Dur mendirikan Gerakan Kebangkitan Rakyat (Gatara) pada 3 Desember tahun 2008, Gus Dur mengikutsertakan Akbar Tandjung.
Setelah Gus Dur meninggal dunia, Akbar juga hadir di beberapa kali acara haul di Ciganjur memperingati wafatnya tokoh NU tersebut, dan diberi kesempatan untuk memberikan sambutan. Akbar menilai, Presiden Abdurrahman Wahid adalah tokoh bangsa yang meletakkan dasar penting bagi perkembangan Indonesia, yakni kemajemukan.
Akbar juga selalu menghormati senior, kolega, atau orang-orang yang pernah berjasa kepadanya. Rasa hormatnya kepada almarhum Lafran Pane ditunjukkan dengan kesungguhannya mensponsori pembuatan film biografi Lafran Pane. Saat mantan Menpora Abdul Gafur meninggal dunia karena Covid-19, Akbar Tandjung ikut mengantar dan menyaksikan proses penguburan Abdul Gafur di pemakaman khusus Covid-19 di Marunda, Jakarta Utara. Itu berlangsung saat terjadi lonjakan kasus, dan tidak banyak orang yang berani datang ke pemakaman khusus Covid-19. Akbar Tandjung mau dan berani, itu pasti didasari rasa hormatnya kepada seniornya.
Dengan beberapa cuplikan cerita di atas, wajar jika banyak orang, menaruh respek pada sosok Akbar Tandjung dan layak disebut sebagai “Maestro Aktivis Indonesia”.
Leave a Reply